Feeds:
Posts
Comments

Archive for May, 2012

Judul: Mimpi Mimpi Einstein

Penulis: Alan Lightman

Saya memberi rating buku ini 8 dari 6, karena buku ini membingungkan tapi menakjubkan di saat yang bersamaan. Perasaan bingung itu hampir dipastikan terjadi sebab saya membacanya tidak dalam kondisi yang tepat, sementara ketakjuban itu hinggap tanpa bisa saya cegah sebagai sebuah reaksi normal manusia tampan manakala membaca untaian kata kata yang bisa begitu nikmat untuk diresapi.
Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil yang maksimal, maka buku ini harus dibaca dalam kondisi yang penuh dengan kedamaian, tidak usah memikirkan cicilan panci yang belum lunas, Syahrini yang tak kunjung menikah, atau bayangan menyakitkan orang tersayang. Lupakan.
Jadilah pribadi super yang kalem, dan santai. Kalau itu sudah dilakukan, maka percayalah, buku ini akan menjadi begitu dahsyat untuk dibaca. Bersiaplah untuk sebuah klimaks yang akan memberikan anda orgasme kata kata yang tiada duanya.

Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…

Seperti judulnya, ini buku tentang Einstein. Sebuah cerita mengenai kehidupannya pada bulan bulan yang menentukan itu. Bulan bulan ketika ia sedang galau menyusun sebuah teori tentang relativitas waktu, yang tentunya sudah kita ketahui bersama kecuali yang belum, yang bakal mengenalkan namanya seantero jagat. Tapi uniknya, penceritaan kehidupan Einstein itu malah tidak mendapatkan porsi yang banyak. Alan Lighman lebih banyak bermain pada hipotesa hipotesa tentang waktu. Di sinilah kemudian saya diajak berpusing ria dan terpesona. Hipotesa tentang waktu itu begitu absurd, surealis. Mengajak saya untuk sejenak pergi ke dunia antah berantah, membayangkan bagaimana jika dunia tanpa waktu, jika kita hidup di dunia dengan waktu yang terhenti, dunia dengan waktu terbalik, dan sebagainya.

3 Juni 1945. Bayangkan satu dunia dengan orang-orang yang hanya hidup satu hari. Maka, detak jantung dan aliran napas mereka sangat kencang karena seluruh waktu hidup dipadatkan dalam satu putaran bumi pada porosnya – atau rotasi bumi sedemikian pelan sehingga satu revolusi penuh membutuhkan seluruh waktu hidup manusia. Setiap tafsiran adalah sahih. Dengan demikian, seorang lelaki atau seorang perempuan melihat satu matahari terbit, satu matahari terbenam.

Bagian hipotesa ini adalah bagian yang terbaik, meski berkali kali membuat dahi saya berkerut. Tapi, saya menikmatinya. Hampir.
Hipotesa tentang waktu ini terbagi menjadi sekitar tiga puluh bagian yang dibedakan oleh tanggal tanggal, mengambil penokohan yang berbeda beda dengan cepat, dengan mengambil tempat kota kota di Swiss, yang namanya terkadang bikin lidah keriting saking susahnya buat dilafalkan.

Pada akhirnya Mimpi Mimpi Einstein telah memberikan pengalaman yang baru dalam menikmati sebuah karya sastra. Buku ini jenius. Alan Lightman jenius. Yang diperlukan untuk bisa menikmati buku ini dengan sempurna hanyalah waktu yang tepat. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Sialnya, saya justru membacanya di waktu yang salah sehingga hasil yang didapat kurang maksimal, alias gagal klimaks.
Ini adalah jenis buku yang tidak terpaku pada jalan cerita. Jadi, anda masih bisa menikmatinya sekalipun sudah tahu endingnya. Sebuah contoh yang pas, untuk sebuah jargon motivasi: yang penting bukan hasil, tapi proses. Begitu kira kira.
Akhir kata, aaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh..

Read Full Post »

Judul: Siapa Pembunuh Palomino Molero?

Penulis: Mario Vargas Llosa

Jumlah Halaman: 192

Penerbit: Komodo Books

Dalam versi bahasa inggrisnya, setelah sejenak mengintip di amazon.com, kata pertama buku ini ialah sebuah umpatan ‘son of the b***h’, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘kutukupret’, dan entah mengapa gue langsung terbayang wajah Tukul Arwana, lalu gue tertawa. Kutukupret.
Tapi kemudian kejenakaan itu langsung sirna manakala gue membaca kalimat selanjutnya;

Lituma tergagap gagap menahan muntah. “Mereka benar benar menghabisimu, nak.” Bocah itu menggantung pada pohon khurnub tua sekaligus mendelik ke arahnya, dengan posisi yang begitu absurd sampai sampai lebih mirip orang orangan sawah atau bonek karnaval busuk ketimbang mayat. Entah sebelum atau sesudah dibunuh ia dihajar dengan kekejaman tiada tara: hidung dan mulutnya robek, darah kering bergumpal gumpal, mukanya lebam penuh luka sayat dan sundutan rokok. Dan seakan itu belum cukup, Lituma juga melihat mereka juga mencoba mengebirinya, karena buah zakarnya melorot menutupi pangkal paha.

Begitulah kemudian gue akhirnya menyadari satu hal; gue bakal suka banget sama ini buku.  Rasanya seperti bertemu teman lama, terus ia bilang begini; bro, mau duit sekarung gak?

Absurd.

Siapa Membunuh Palomino Molero? ialah sebuah novel yang ditulis oleh Mario Vargas Llosa, yang telah berhasil mendapatkan Nobel Sastra pada tahun 2010 silam. Ini novel misteri pembunuhan pertama yang gue beri nilai nyaris sempurna. Sepanjang halaman buku ini, gue diajak berkeliling mencari petunjuk petunjuk yang sekiranya bisa membantu mengungkap siapa pembunuhnya melalui kacamata seorang Lituma, anggota Guardian Civil (semacam polisi), beserta atasannya, Letnan Silva. Tapi, jangan harapkan ada adegan aksi atau kejar kejaran di sini, karena buku ini lebih menitikberatkan pada kelihaian penegak hukum dalam rangka menginvestigasi saksi saksi, yang dituangkan dalam dialog dialog yang memikat dan blak blakan. Anak kecil dihimbau jangan ikutan baca.
Selain itu, jangan lewatkan usaha Letnan Silva untuk mengambil hati (baca: meniduri) wanita pujaan hatinya bernama Dona Adriana, si gendut pemilik rumah makan dan juga istri seorang pelaut. Letnan Silva tergila gila pada perempuan itu, yang digambarkan oleh Mario Vargas dengan begitu seksi, sekaligus absurd.

meski Letnan mendengar dan mengajak bicara soal pertemuan dengan Komandan Pangkalan Angakatan Udara nanti, segenap jiwa raganya terkonsentrasi pada gerak menggelombang Dona Adriana yang sedang menyapu restoran. Gerakannya tangkas dan gesit, kadang membuat ujung roknya terangkat naik sampai ke atas lutut, menyingkap sepotong paha tebal nan keras.

Jadi, apakah mereka bakal menemukan siapa sebenarnya pembunuh Palomino Molero? Apa motif dari pada pembunuhan itu? Lalu, apakah Letnan Silva berhasil menuntaskan hasratnya?

Tapi yang ia minati cuma Dona Adriana. Ia pun sudah mengakuinya ke Lituma, “Akan kutiduri si gendut itu, sialan.”

Ternyata jawabannya cukup menyedihkan dan sungguh di luar dugaan. Tapi, nasib Letnan Silva dan Dona Adriana lah yang justru terasa banget kejutannya. Antara nelangsa, dan ngakak tak terkira.

Pada akhirnya, buku ini cocok buat anda yang mengharapkan cerita misteri pembunuhan yang lain dari biasanya. Bagi yang suka nonton film, buku ini mengingatkan gue sama film thriler korea Memories Of Murder nya Bong Joon Ho. Atmosfirnya hampir sama, terutama pas openingnya.
Mengenai terjemahan buku ini, bisa dibilang nyaris sempurna, begitu nyaman buat dibaca. Dan, setelah gue baca siapa penerjemahnya, gue paham, ternyata ia adalah orang yang sama yang telah menerjemahkan Rumah Arwah, Daughter Of Fortune (yang juga gue sukai), yaitu Ronny Agustinus. Hanya saja, ada sedikit yang mengganjal yaitu di halaman 144.
Di situ tertulis: “Aku sesuatu yang panas, kopi itu kalau tak ada lainnya, kata gadis itu…

Mungkin maksudnya begini:
“Aku ingin sesuatu yang panas, kopi itu .. dst..

Tapi dari segi cerita, buku ini mantap betulan. Tak heran kalau si penulis memang pantas menyandang Nobel Sastra 2010 itu.

Rating 4.5 aout of 5

Read Full Post »

Review Gadis Kretek

Judul: Gadis Kretek

Penulis: Ratih Kumala

Jumlah hal: 284

review galau mode on

Baru buka beberapa lembar, buku ini udah bikin gw senyum. Manis banget. Sumpah. Gara garanya gw nemu tulisan begini: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN, GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Gw senyum bukannya karena lucu, tapi lebih karena kebiasaan. Jadi gw suka senyum senyum sendiri gitu. Hahaha, ya enggak gitu juga lah. Gw senyum karena itu pengalaman pertama gw nemu buku novel, tapi ada tulisan begitunya. Kaya rokok. Meski kalo dipikir pikir sih emang masuk akal juga, karena buku ini emang kebanyakan bercerita tentang rokok.
Jadi ceritanya, ada bos rokok Kretek Djagad Raja namanya Pak Raja yang lagi sekarat, terus manggil manggil nama Jeng Yah. Pengen ketemu gitu. Tapi, diantara ketiga anaknya (Tegar, Karim, & Lebas), dan satu istrinya, tuh enggak ada yang tahu dimana Jeng Yah berada. Satu satunya clue, cuma perkataan Pak Raja yang bilang bahwa terakhir kali ketemu di Kudus. Maka, ketiga anaknya pun kemudian pergi ke Kudus, nyari Jeng Yah. Jadi, kira kira ketemu enggak mereka sama Jeng Yah?
Selain itu, buku ini juga menceritakan tentang masa lalu tentang awal mula berdirinya pabrik rokok Kretek Djagad Raja, yang ternyata mempunyai kisah yang mengharu biru, penuh dengan cinta, dan dendam di tengah kepulan asap rokok yang membubung di bumi nusantara yang masih muda. Di bagian ini, gw dikasih pengetahun tentang bahan bahan buat bikin rokok, yang bikin gw manggut manggut ngerti, dan juga dikasih cerita menyedihkan, yang bikin gw ngelus ngelus dada gw sendiri, karena kalo ngelus dada orang lain, takut digaplok pake kaki. Tapi untung saja enggak sampai bikin gw jadi galau, karena begitu gw selesai baca buku ini, gw secara refleks malah tersenyum penuh dengan kelegaan. Plong rasanya. Kenapa jadi plong?  Mending baca aja sendiri bukunya, ntar juga ngerti kenapa jadi plong. Hahah.
Tapi, sayangnya, cerita yang keren itu tidak dibarengi dengan penulisan buku ini. Ada banyak salah ketek, eh ketik, dan ada pula yang salah nulis nama. Semoga saja dicetakan selanjutnya, hal itu sudah bisa diperbaiki. Semoga. Dan satu lagi, gw agak kurang sreg dengan penamaan kota yang hanya disebut sebagai kota ‘M’. Kenapa bukan nama saja. Kesannya jadi tidak realistis, sementara kota kota yang lain justru diberi nama sebenarnya. Contohnya Magelag, Kudus dan lainnya.
Err..tapi apa pun itu, buku ini masih sangat layak untuk dibaca. Buku ini sukses bikin pencitraan yang baik buat rokok. Rokok jadi terlihat tidak menyesakkan dada, sebaliknya, malah menyunggingkan senyum di bibir gw. Senyum manis lagi. Hahaha. #kabursebelumditimpuk

Rating 4 out of 5

review galau mode off

Read Full Post »

Review Rumah Arwah

 

Judul: Rumah Arwah
Penulis: Isabel Allende
Penerbit: Gramedia, Jakarta, 2010
Hal: 599

Esteban Trueba ialah seorang laki laki pemarah, yang telah mengubah Tres Marias menjadi tanah pertanian yang menjanjikan. Ia juga kerap berlaku kejam dengan mengambil kesucian gadis gadis perawan. Clara ialah seorang gadis manis yang cuek dan nyentrik, yang bisa meramal masa depan, dan bicara semaunya. Sifatnya itu sudah terlihat semenjak ia masih kecil. Ia bisa memainkan piano tanpa membuka penutupnya, dan suatu ketika pernah
menginterupsi seorang romo yang sedang berkhotbah, “Ssst! Romo Restrepo! Kalau cerita soal api neraka itu bohong belaka, mampuslah kita semua..”, yang segera saja menyulut sebuah kondisi yang dimasa kini layak untuk mendapatkan hastag #kemudianhening.

Dua sifat bertolak belakang itu kemudian disatukan oleh sebuah ikatan pernikahan. Maka tak heran seandainya anak anak mereka kelak akan memiliki sifat yang unik, yang seiring waktu ikut andil dalam usaha perubahan pemerintahan yang kejam dan berdarah darah.

Rumah Arwah ialah sebuah novel yang mampu meleburkan dahsyatnya cinta dan kejamnya politik dengan sempurna. Ditulis dengan menggunakan kalimat kalimat percakapan yang panjang, bahkan ada yang nyaris satu lembar, namun terasa natural dan tidak berlebihan. Dua buah sudut pandang yang dipakai dalam buku ini ( sudut pandang orang pertama, dan ketiga ), meski mungkin agak sedikit membingungkan karena Isabel Allende menggunakannya secara acak, namun tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu kemudian menjadikan saya menjadi lebih mengerti atas apa yang terjadi pada masing masing tokoh. Bagaimana kemudian buku ini membuat saya membenci Esteban Trueba, tapi kemudian malah merasa kasihan.

Selain itu kelebihan buku ini ialah terletak dengan banyaknya tokoh tokoh yang bermunculan tapi sangat susah untuk dilupakan, karena mereka dibekali oleh sifat sifat yang unik, dan cerita cerita yang mengagumkan. Ada Jamie, yang rela telanjang daripada melihat orang lain tak punya pakaian, Blanca yang hobi sakit sakitan, dan Pak Tua Pedro Garcia, yang bisa bicara dengan..eh..semut, serta tokoh yang lainnya.

Inilah buku yang berhasil menempatkan semua tokohnya ke dalam hati saya, meski ada yang bukan tokoh utama. Tentu saja ini adalah wujud daripada kehebatan Isabel Allende, bukan semata mata karena hati saya yang sedang kosong belaka. #kemudianheningsambilnyisirkumis

Semua itu kemudian dihiasi dengan gambar sampul elegan dan klasik yang menutupi sepanjang lima ratus sembilan puluh sembilan halaman buku edisi bahasa indonesia. Tapi sayangnya, tidak dibarengi oleh penjilidan yang oke punya, sebab setelah saya selesai membaca, ternyata seperti halnya cinta, bukunya juga nyaris terbagi dua, plus dua lembar halaman yang lepas begitu saja. Padahal, saya bacanya pakai gaya normal, duduk nyender di tembok atau kursi, dengan kondisi udara yang baik. Bukan sambil kayang atau sambil tiduran di hati kamu. #kemudianheningmintadigeplakkarenalebay

Pada akhirnya, seperti sebuah pelukan hangat seorang sahabat yang memberimu berbagai macam rasa, kesenangan dan kesedihan serta aura magis yang terang terangan menakjubkan, begitulah sedikit banyak saya memaknai Rumah Arwah.
Rumah Arwah berhasil menerbitkan perasaan rindu yang getir, ketika saya menutup lembaran terakhir. Rumah Arwah mampu menggetarkan hati saya manakala mengikuti kisahnya yang menakjubkan, menyedihkan, sekaligus menyeramkan. Tapi, sayangnya, Rumah Arwah belum mampu membuat seseorang di kepala saya terlupakan. #kemudianheningpengenjitakpakelinggis.
rating 5 out of 5

Read Full Post »