Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘buku’

Review Gadis Kretek

Judul: Gadis Kretek

Penulis: Ratih Kumala

Jumlah hal: 284

review galau mode on

Baru buka beberapa lembar, buku ini udah bikin gw senyum. Manis banget. Sumpah. Gara garanya gw nemu tulisan begini: MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN, GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Gw senyum bukannya karena lucu, tapi lebih karena kebiasaan. Jadi gw suka senyum senyum sendiri gitu. Hahaha, ya enggak gitu juga lah. Gw senyum karena itu pengalaman pertama gw nemu buku novel, tapi ada tulisan begitunya. Kaya rokok. Meski kalo dipikir pikir sih emang masuk akal juga, karena buku ini emang kebanyakan bercerita tentang rokok.
Jadi ceritanya, ada bos rokok Kretek Djagad Raja namanya Pak Raja yang lagi sekarat, terus manggil manggil nama Jeng Yah. Pengen ketemu gitu. Tapi, diantara ketiga anaknya (Tegar, Karim, & Lebas), dan satu istrinya, tuh enggak ada yang tahu dimana Jeng Yah berada. Satu satunya clue, cuma perkataan Pak Raja yang bilang bahwa terakhir kali ketemu di Kudus. Maka, ketiga anaknya pun kemudian pergi ke Kudus, nyari Jeng Yah. Jadi, kira kira ketemu enggak mereka sama Jeng Yah?
Selain itu, buku ini juga menceritakan tentang masa lalu tentang awal mula berdirinya pabrik rokok Kretek Djagad Raja, yang ternyata mempunyai kisah yang mengharu biru, penuh dengan cinta, dan dendam di tengah kepulan asap rokok yang membubung di bumi nusantara yang masih muda. Di bagian ini, gw dikasih pengetahun tentang bahan bahan buat bikin rokok, yang bikin gw manggut manggut ngerti, dan juga dikasih cerita menyedihkan, yang bikin gw ngelus ngelus dada gw sendiri, karena kalo ngelus dada orang lain, takut digaplok pake kaki. Tapi untung saja enggak sampai bikin gw jadi galau, karena begitu gw selesai baca buku ini, gw secara refleks malah tersenyum penuh dengan kelegaan. Plong rasanya. Kenapa jadi plong?  Mending baca aja sendiri bukunya, ntar juga ngerti kenapa jadi plong. Hahah.
Tapi, sayangnya, cerita yang keren itu tidak dibarengi dengan penulisan buku ini. Ada banyak salah ketek, eh ketik, dan ada pula yang salah nulis nama. Semoga saja dicetakan selanjutnya, hal itu sudah bisa diperbaiki. Semoga. Dan satu lagi, gw agak kurang sreg dengan penamaan kota yang hanya disebut sebagai kota ‘M’. Kenapa bukan nama saja. Kesannya jadi tidak realistis, sementara kota kota yang lain justru diberi nama sebenarnya. Contohnya Magelag, Kudus dan lainnya.
Err..tapi apa pun itu, buku ini masih sangat layak untuk dibaca. Buku ini sukses bikin pencitraan yang baik buat rokok. Rokok jadi terlihat tidak menyesakkan dada, sebaliknya, malah menyunggingkan senyum di bibir gw. Senyum manis lagi. Hahaha. #kabursebelumditimpuk

Rating 4 out of 5

review galau mode off

Read Full Post »

Review Rumah Arwah

 

Judul: Rumah Arwah
Penulis: Isabel Allende
Penerbit: Gramedia, Jakarta, 2010
Hal: 599

Esteban Trueba ialah seorang laki laki pemarah, yang telah mengubah Tres Marias menjadi tanah pertanian yang menjanjikan. Ia juga kerap berlaku kejam dengan mengambil kesucian gadis gadis perawan. Clara ialah seorang gadis manis yang cuek dan nyentrik, yang bisa meramal masa depan, dan bicara semaunya. Sifatnya itu sudah terlihat semenjak ia masih kecil. Ia bisa memainkan piano tanpa membuka penutupnya, dan suatu ketika pernah
menginterupsi seorang romo yang sedang berkhotbah, “Ssst! Romo Restrepo! Kalau cerita soal api neraka itu bohong belaka, mampuslah kita semua..”, yang segera saja menyulut sebuah kondisi yang dimasa kini layak untuk mendapatkan hastag #kemudianhening.

Dua sifat bertolak belakang itu kemudian disatukan oleh sebuah ikatan pernikahan. Maka tak heran seandainya anak anak mereka kelak akan memiliki sifat yang unik, yang seiring waktu ikut andil dalam usaha perubahan pemerintahan yang kejam dan berdarah darah.

Rumah Arwah ialah sebuah novel yang mampu meleburkan dahsyatnya cinta dan kejamnya politik dengan sempurna. Ditulis dengan menggunakan kalimat kalimat percakapan yang panjang, bahkan ada yang nyaris satu lembar, namun terasa natural dan tidak berlebihan. Dua buah sudut pandang yang dipakai dalam buku ini ( sudut pandang orang pertama, dan ketiga ), meski mungkin agak sedikit membingungkan karena Isabel Allende menggunakannya secara acak, namun tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu kemudian menjadikan saya menjadi lebih mengerti atas apa yang terjadi pada masing masing tokoh. Bagaimana kemudian buku ini membuat saya membenci Esteban Trueba, tapi kemudian malah merasa kasihan.

Selain itu kelebihan buku ini ialah terletak dengan banyaknya tokoh tokoh yang bermunculan tapi sangat susah untuk dilupakan, karena mereka dibekali oleh sifat sifat yang unik, dan cerita cerita yang mengagumkan. Ada Jamie, yang rela telanjang daripada melihat orang lain tak punya pakaian, Blanca yang hobi sakit sakitan, dan Pak Tua Pedro Garcia, yang bisa bicara dengan..eh..semut, serta tokoh yang lainnya.

Inilah buku yang berhasil menempatkan semua tokohnya ke dalam hati saya, meski ada yang bukan tokoh utama. Tentu saja ini adalah wujud daripada kehebatan Isabel Allende, bukan semata mata karena hati saya yang sedang kosong belaka. #kemudianheningsambilnyisirkumis

Semua itu kemudian dihiasi dengan gambar sampul elegan dan klasik yang menutupi sepanjang lima ratus sembilan puluh sembilan halaman buku edisi bahasa indonesia. Tapi sayangnya, tidak dibarengi oleh penjilidan yang oke punya, sebab setelah saya selesai membaca, ternyata seperti halnya cinta, bukunya juga nyaris terbagi dua, plus dua lembar halaman yang lepas begitu saja. Padahal, saya bacanya pakai gaya normal, duduk nyender di tembok atau kursi, dengan kondisi udara yang baik. Bukan sambil kayang atau sambil tiduran di hati kamu. #kemudianheningmintadigeplakkarenalebay

Pada akhirnya, seperti sebuah pelukan hangat seorang sahabat yang memberimu berbagai macam rasa, kesenangan dan kesedihan serta aura magis yang terang terangan menakjubkan, begitulah sedikit banyak saya memaknai Rumah Arwah.
Rumah Arwah berhasil menerbitkan perasaan rindu yang getir, ketika saya menutup lembaran terakhir. Rumah Arwah mampu menggetarkan hati saya manakala mengikuti kisahnya yang menakjubkan, menyedihkan, sekaligus menyeramkan. Tapi, sayangnya, Rumah Arwah belum mampu membuat seseorang di kepala saya terlupakan. #kemudianheningpengenjitakpakelinggis.
rating 5 out of 5

Read Full Post »

Review Maryam

Judul buku: Maryam

Penulis: Okky Madasari

Sebelumnya, silahkan perhatikan gambar cover di atas. Ada yang aneh? Tentunya kamu pada bertanya tanya, mengapa saya menaruh gambar tiga anak panah A, B dan C, bukannya gambar yang lain. Ketiga anak panah itu menunjukkan keanehan yang terjadi pada gambar cover Maryam. Perhatikan gambar tangan yang sedang memegang rumah tersebut. Jika anak panah A, itu ialah gambar tangan kiri, anak panah B tangan kanan, lalu gambar apakah yang ditunjukkan oleh anak panah C?

Apabila dilihat dari segi anatomi, kemungkinan itu ialah gambar tangan kiri, sebab dengan posisi seperti itulah ‘rumah’ bisa digenggam dengan sempurna. Lalu, anak panah A apaan dong? Apa itu tangan pemain figuran yang ketutupan sama tokoh utama, atau jangan jangan tangan setan!! Tapi, itu bukan tangan kamu kan? #eaaa

Mari kita kembali ke teori awal; anak panah A itu sebetulnya tangan kiri, anak panah B tangan kanan, dan anak panah C itu jari tangan kanan yang melingkari rumah. Berarti jarinya panjang banget dong ya  :D

Jadi, menurut kamu gimana susunannya?

Kemudian, saya ingin bertanya; kamu tahu Ahmadiyah? Kalau kamu tahu, apa kamu tahu mengapa Ahmadiyah disebut aliran sesat? Kalau kamu juga tahu, maka tolong jelaskan kepada Maryam, sebab ia tidak tahu, tapi gara gara itulah hidupnya jadi menderita. Penderitaannya yang pertama dimulai sewaktu ia dilarang kawin dengan kekasihnya yang kebetulan bukan seorang Ahmadi. Ahmadi ialah sebutan bagi penganut aliran Ahmadiyah. Coba bayangkan, dilarang menikah ketika bunga cinta sedang tumbuh dengan dahsyatnya, itukan sesuatu banget nelangsanya. Tapi kemudian, ia menikah juga dengan kekasihnya. Ia kabur dari rumah tanpa restu kedua orang tua. Kemudian ia tinggal di rumah suaminya, yang ternyata masih serumah sama ibunya. Ibunya ini, suka bikin gara gara dengan mengungkit ungkit masalah keyakinan Maryam yang orang Ahmadi, meski Maryam sebenarnya tidak terlalu memperdulikan apakah ia Ahmadi atau pun bukan.

Penderitaan Maryam selanjutnya terjadi manakala ia kembali ke rumah orang tuanya, dan mendapati kenyataan yang mengerikan, dimana statusnya sebagai orang Ahmadi telah membawanya kepada berbagai ketidakadilan, intimidasi, dan cibiran orang orang yang menganggap mereka golongan yang tidak sesat.

Kira kira seperti itulah garis besar ceritanya. Tapi, buku ini bukan berisi tentang sesat atau tidaknya aliran Ahmadiyah, meskipun kita akan diajak untuk menyelami lika liku kehidupan seorang Ahmadi dalam memandang dirinya, serta orang orang di luar Ahmadi, yang justru kerap memberikan hal yang tidak mengenakkan kepada dirinya. Buku ini tidak sedang memberikan pengertian secara akidah, tapi lebih kepada bagaimana hubungan antar manusianya. Bagaimana cap sesat itu kemudian mempengaruhi kehidupan para Ahmadi, juga masyarakat di sekitar mereka yang bukan Ahmadi.

Waktu enam bulan yang telah dihabiskan oleh Okky Madasari untuk berkunjung ke Lombok, dan mewawancarai langsung para Ahmadi, nyatanya telah berhasil membawa saya untuk merasa lebih dekat dengan  buku ini, meski ia menulisnya dalam sudut pandang orang ketiga, yang biasanya memunculkan jarak itu. Kemudian ditutup dengan ending yang realistis, tidak terlalu didramatisir, meski saya mengharapkan lebih dari itu, mengingat beberapa taun silam Entrok telah berhasil membuat saya menderita penyakit galau nomer delapan belas.

Melalui buku ini, Okky mencoba untuk memperjuangkan nasib mereka yang menderita, yang selama ini, boleh jadi bagi banyak orang hanya sebatas menjadi obrolan di meja makan, kemudian terlupakan. Lebih dari itu, Maryam ialah sebuah himbauan agar siapa pun itu lebih menghormati pilihan orang lain, baik itu dalam hal keyakinan, atau pun hal yang lainnya.  Buku ini juga dilengkapi dengan sebuah CD, yang berisi delapan lagu ciptaannya sendiri. Kamu mau kan dengerin lagunya, jangan iwak peyek mulu yang didengerin :D

Read Full Post »

Review A Tale Dark & Grimm

Judul: A Tale Dark & Grimm
Penulis: Adam Gidwitz

Ada sebuah cerita. Pada suatu malam di sebuah ranjang tempat tidur, seorang anak kecil bernama Mawar meminta kepada ayahnya untuk membacakan sebuah dongeng. Ayahnya kemudian mengambil sebuah buku yang baru saja ia beli: A Tale Dark & Grimm , dan ia mulai membaca.
Tak lama kemudian, Mawar menjerit.
Papah, hentikan! Mawar takut! Mawar.. gak gak gak gak kuat!! Gak gak gak gak level!!

Bertahun tahun kemudian, Mawar menciptakan sebuah lagu berdasarkan pengalaman masa kecilnya berjudul Playboy dan dinyanyikan oleh girl band pendatang baru: 7icon.

Oke, itu semua cerita bohong belaka. Karena lagu Playboy ditulis oleh Dewiq, dan tentu saja tak ada seorang ayah yang tega menceritakan sebuah dongeng yang menakutkan untuk buah hatinya tercinta.
Tapi jangan salah, bahkan di dalam kebohongan pun terkadang ada sebuah kebenaran yang nyata adanya .
Kebenaran yang ada pada cerita di atas ialah adanya sebuah buku berjudul A Tale Dark & Grimm. Dan memang benar, di dalamnya memuat begitu banyak unsur kekerasan yang tidak boleh dibaca oleh anak dibawah umur. Sebut saja pembunuhan, potong jari hingga potong kepala, mutilasi, merebus orang dan lain sebagainya. Keras dan berdarah darah.
Seharusnya menakutkan, ya enggak sih?
Sayangnya, buku ini tidak terlalu menakutkan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Karena Adam Gidwitz, sang penulis, hanya piawai menggambarkan berbagai kekejaman kekejaman, namun gagal membangun atmosfir kengerian, alih alih terkesan jadi lucu dan terlalu riang. Ibaratkan saja kita menonton film horor di tengah lapangan pada siang hari bolong, ditemani oleh tetangga sekampung plus dukun pengusir setan.
Juga ditambah dengan banyaknya interupsi oleh penulisnya, semakin mengurangi ketegangan yang susah payah dijaga. Interupsi bagaimana maksudnya?
Maksudnya begini. Misalnya kita sedang seru serunya baca, kemudian tiba tiba ada tulisan dari penulisnya (dengan type font yang berbeda) yang memberitahu bahwa kejadian selanjutnya akan menakutkan, atau himbauan agar seandainya ada anak kecil suruh cepat keluar, atau penjelasan mengenai kejadian kejadian sebelumnya yang sayangnya malah tidak menjelaskan apa pun: ‘Jadi apa alasannya, jangan tanya padaku, aku juga tidak tahu’, begitu katanya.
Jadi, membaca buku ini seperti sedang ngabuburit menunggu bedug maghrib tapi tanpa beli makanan buat tajil, atau tamasya bersepeda mengelilingi kompleks rumah tapi tanpa ada yang dikecengin , alias tidak membawa kesan apa pun, kecuali sekedar pengisi waktu yang sedikit menyenangkan tapi tidak cukup kuat untuk membuat diriku terpesona.

Read Full Post »

Review The Hobbit

The Hobbit
Penulis: J.R.R Tolkien

review The Hobbit, dalam sebuah ilustrasi:

Hari ini Bapak akan meriview buku berjudul The Hobbit yang ditulis oleh J.R.R Tolkien. Ada yang sudah baca? Yak, jangan dijawab, karena pokok pembahasan kali ini adalah tentang review buku itu, bukan tentang apakah sudah kalian baca atau belum. Mengerti!
Ngerti Paaakkk!!!
Bagooossss!! Markitmul!
Markitmul apaan Pak?
Mari kita mulai, muridku.
*tepokjidat*
Jadi, The Hobbit itu menceritakan tentang petualangan seorang hobbit, bernama Bilbo Baggins, yang diajak oleh Gandalf, penyihir baik hati, dan tiga belas kurcaci, untuk merebut kembali harta nenek moyang mereka yang dikuasai oleh naga jahat bernama Smaug. Tapi, sebelum mereka sampai di tempat dimana naga itu tinggal, mereka harus mengadakan perjalanan panjang yang tidak hanya melelahkan, tapi juga menakutkan, yang hampir saja merenggut nyawa mereka. Sebab mereka harus melalui tempat tempat yang dihuni oleh makhluk makhluk berbahaya.

Terus, nasib mereka gimana Pak? Apa mereka berhasil dapetin tuh harta, terus gimana caranya mereka menghadapi naga?
Nah, jawaban dari pada pertanyaan itu bisa ditemui di dalam buku ini.
Jadi, bukunya bagus gitu Pak?
Yah, bagus sih, meski tidak bagus banget. Penulis berhasil membawa saya untuk dapat ikut serta menikmati berbagai kisah di dalamnya. Yang diceritakan dengan tepat, tanpa basa basi, tidak ada detail detail yang mengganggu. Semua ditulis dengan ringkas, dan…eh, kamu Saprudin, ngapain kakimu ditaro di atas meja begitu.
Gerah Pak!
Kamu itu aneh. Kalau gerah, ya jendelanya dibuka, bukannya naruh kaki begitu!!
Siap, Pak!!

*Saprudin berdiri hendak membuka jendela, ketika tiba tiba seorang murid yang lain berteriak melarangnya*; ‘Jangan dibukaa!!!
Kenapa? *tanya Pak Guru*
Nanti airnya masuk!!
Oalaha, bocah gemblung. Ngelindur mesti ini. Woi, bangun! Cuci muka sono di kamar mandi. Dasar edun, di kelas bukannya belajar malah tidur, emangnya ini hostes!
Salah Paaak, yang benar hotel!
Jangan dibenerin. Saya lagi emisi!
Emosiiiii Paaakkkk!!!
#@$$&##**??!

*Setelah Pak Guru tenang, kemudian ia melanjutkan*: Nah, sampai dimana tadi. Ah, sudahlah..intinya The Hobbit ini buku yang bagus. Lagipula kalian juga pasti sudah pada tahu khan, kalau buku ini merupakan prekuel dari buku trilogi The Lord Of The Ring. Kalau kalian sudah tahu, pasti penasaran khan gimana sih kisahnya sampai Bilbo Baggins bisa mendapatkan cincin ajaib itu.
Iya Pak. Ntar bulan desember juga keluar filmnya, Pak!!
Oh iya, betul sekali. Nah, berhubung waktu sudah mulai habis. Kalian ada pertanyaan..yak kamu Sumarjo, mau nanya apa?
Bolehkah saya bertanya, Pak?
Oh, tentu saja boleh. Mau nanya apa?
Lha, itu tadi sudah dijawab..saya kan cuma mau nanya; Bolehkan saya bertanya, Pak?
Oalaaah..!!  Murid muridku, kalian sabar yah, punya teman kaya Sumarjo tadi.
Ada juga Bapak kali yang sabarrr..
Bapak mah, sudah sabar dari dulu..Hehehe..Ya sudah, pelajaran kali ini cukup sampai di sini. Sampai jumpa di lain kesempitan.
Kesempatan, Paaaakkkkk!!!!!!!!!

Read Full Post »

Extremely Loud and Incredibly Close
Penulis: Jonathan Safran Foer

Tiba tiba saja, saya ingin menjadi orang ganteng pertama yang pergi memanjat pohon toge, dan melemparkan buku ini ke tanah, kemudian saya diamkan selama sebulan penuh hingga tumbuh jamur, lalu saya makan, meskipun saya menyadari hal itu masih tak cukup buat menghilangkan kekecewaan yang saya alami.
Tapi, tentu saja hal itu hanya sebatas keinginan, tanpa pernah menjadi kenyataan. Sebab nyatanya saya jauh dari pohon toge, tidak akan melemparkan buku ke tanah, tidak makan jamur buku, tapi, saya masih tetap kecewa, plus tetap ganteng sebagaimana biasa.
Kemudian saya pun mulai menyalahkan orang orang dari Arena, Daily Telegraph, dan Observer, sebab di masa lalu telah dengan percaya diri menuliskan kata kata pujian pada lembar sampul;’Memikat’,Mengharu Biru’,’Spektakuler’. Menyalahkan Stephen Daldry, yang telah menggandeng Tom Hanks dan Sandra Bullock untuk membuat versi layar lebar daripada buku ini. Kedua hal itulah yang sekiranya menjadi biang keladi atas membubung tingginya harapan akan betapa menariknya buku ini. Dan seperti yang telah saya singgung sebelumnya, buku ini tidak sesuai dengan harapan. Saya kuciwa.

Ialah Oskar Schell, yang pada umurnya yang masih belia telah ditinggalkan oleh ayahnya yang ikut menjadi korban dalam peristiwa 11 September. Anak laki laki ini, yang begitu merasa kehilangan sosok ayahnya, kemudian sedikit merasa terhibur manakala pada suatu hari ia menemukan sebuah kunci, yang ia yakini sebagai milik ayahnya. Waktu itu ia sendirian di dalam kamar ayahnya, merasa kesal oleh tingkah laku ibunya di ruang tamu yang sedang tertawa bersama teman laki laki, saat itulah ia melihat sebuah vas bunga di atas lemari.
Ia mengambil kursi dan beberapa tumpuk buku sebagai pijakan, sebab lemari itu terlalu tinggi. Namun, tak sengaja ia menjatuhkan vas
bunga itu, dan pecah. Sewaktu sedang membersihkan pecahan vas bunga, ia menemukan amplop yang berisi kunci. Ia tak tahu, lubang kunci manakah yang cocok dengan kunci itu. Satu satunya petunjuk hanyalah sebuah tulisan pada amplop; ‘Black’.
Ia pun kemudian berusaha untuk mencari tahu siapa ‘Black’ itu sebenarnya, dengan cara menemui semua orang yang mempunyai nama ‘Black’;Aron Black, Abby Black, William Black,serta Black yang lainnya, meski sayangnya ia tidak berusaha untuk mencari Kamen Rider Black, sebab kalau itu terjadi, tentunya akan membuat buku ini menjadi menarik.

Err..sangat susah buat saya untuk menikmati buku ini. Bukan karena ceritanya yang tidak menarik, meskipun memang ternyata tidak begitu menarik juga sih, melainkan cara penulisannya yang bikin bingung. Jonathan S Foer menulis buku ini dengan gaya yang sama sekali berbeda dengan penulis kebanyakan. Ketika biasanya penulis berusaha keras untuk memberikan sebuah tulisan yang memudahkan orang lain untuk membaca, maka Jonathan S Foer berlaku sebaliknya.
Ia menulis seenak udelnya sendiri yang mengakibatkan buku ini menjadi sulit untuk dibaca. Sebagai contoh, penulisan dialog. Lazimnya dialog ditulis satu dialog dalam satu baris, dan dialog berikutnya ditulis di bawahnya. Tapi Jonathan S Foern malah menulis hampir semua dialog berikutnya, di samping dialog sebelumnya. Tapi, puncak dari segala proses ‘seenak udelnya’ sendiri itu terjadi pada halaman 345 – 348; tulisannya sama sekali tidak bisa dibaca.
Barangkali seandainya buku ini ditulis menggunakan tulisan hanacaraka pada lembar daun lontar milik Brama Kumbara, atau tulisan hieroglyph pada dinding piramid, atau tulisan 4l4y pada dinding dinding Facebook, masih dimaklumi kalau sampai saya tidak bisa membacanya, tapi kalau jenis tulisan Times New Roman, diketik komputer dan tidak bisa dibaca, itu kan sesuatu banget namanya. Betul tidak mbak Sahrini?
Sahrininya ga ada mas.
Pergi kemana emang?
Jangan memilihh akkyuuuu…
Malah nanyi

Dan, ketidaknyamanan dalam hal penulisan itu pun berimbas pada menurunnya daya tangkap saya terhadap apa yang disebut sebagai jalan cerita. Cerita yang sebenarnya tidak begitu kompleks itu pun menjadi kelihatan berbelit belit kesana kemari, dan errr..pokoknya gitu deh ye, bikin pusing bacanya :
Tapi meski begitu, buku ini bukannya tanpa kelebihan, sebab nyatanya biarpun secuil, Jonathan S Foer mampu menghadirkan momen momen yang mampu menggetarkan hati, meski paragraf sebelumnya dan sesudahnya tetap bikin mabok. Ini membuktikan bahwa sebenarnya Jonathan S Foer penulis yang bukan sembarangan, penulis yang sesuatu banget lah. Betul tidak mbak Sahrini?
Sahrininya ga ada mas.
Jangan memilih akkyuuu…
*keduluan nyanyi

Kelebihan yang lain ialah adanya ilustrasi foto hitam putih yang menunjukkan apa saja yang disebutkan di dalam buku. Misalnya tokoh utama menyebutkan kunci,kura kura, sidik jari maka nanti akan ada foto kunci, kura kura, sidik jari, dan seterusnya. Bahkan lembar pertama buku ini diisi secara berurutan oleh sebuah foto lubang kunci, burung burung terbang, dan sisi samping sebuah apartemen.

Pada akhirnya buku ini bukan untuk semua orang, termasuk saya. Butuh perjuangan yang besar untuk menyelesaikannya. Ini adalah buku paling unik, tapi juga sekaligus paling menyebalkan yang pernah saya baca. Tidak cocok untuk dibaca sambil santai ongkang ongkang kaki di bawah pohon ditemani secangkir teh di sore hari, tidak cocok dibaca bersama keluarga anda, atau kekasih anda, atau teman tapi mesra anda, atau binatang peliharaan anda, atau temannya tentenya bapaknya ibunya adiknya sepupunya tetangganya adiknya neneknya teman anda. Pokoke kudu dibaca dalam kondisi siap tempur deh, dan jangan lupa… helmnya dicopot, biar keliatan .
Sudah yee..:D/

Read Full Post »

Where the Mountain Meets the Moon
Penulis : Grace Lin

Hampir mirip dengan Pak Rebo, tokoh fiktif ciptaan Mas Didi Kempot, yang justru lahir di hari Kamis, Kakek Rembulan ternyata tidak bermukim di bulan, melainkan di puncak Gunung Tak Berujung. Hal tidak nyambung itu nyatanya harus dipahami sebagai sebuah kabar baik, sebab akan lebih mudah untuk tetap menjadikan siapa penghuni bulan sebagai sebuah misteri yang kerap mengilhami para pemuda untuk merayu pujaan hati, dari pada mengetahui ternyata dihuni oleh kakek kakek.

Meski sudah diketahui tempat tinggalnya, namun Minli sama sekali buta dimana Gunung Tak Berujung itu berada. Ya, Minli hendak mencari Kakek Rembulan untuk bertanya bagaimana caranya menghadirkan peruntungan atau nasib baik, sebab ia tak tahan melihat Ma dan Ba ,sebutan untuk ibu dan ayahnya, berkerja terlalu keras. Keinginan Minli mendapati titik terang, ketika suatu hari ia membeli seekor ikan emas, dan membawanya ke rumah. Namun, karena terlalu miskin, Minli akhirnya melepaskan ikan emas itu ke sungai.
Dan, ternyata ikan emas itu bisa ngomong. Lalu berkatalah sang ikan kepada Minli, bahwa ia mengetahui dimana Gunung Tak Berujung itu berada. Berbekal alamat dan sedikit tips dan trik dari si ikan, maka berangkatlah Minli untuk memenuhi hasratnya bertemu Kakek Rembulan, dan bertanya bagaimana caranya menghadirkan peruntungan. Lalu, dimulailah petualangan penuh keajaiban Minli, yang merupakan sajian utama dari pada buku ini.

Buku ini menggunakan kalimat pembuka khas dongeng dongeng jadul, ‘Pada jaman dahulu kala, di suatu tempat bernama anu, hiduplah si anu bersama anu. Karena anu, kemudian si anu jadi anu, maka jadilah ia beranu. Karena si anu jadi anu dan beranu, maka anunya jadi banyak ‘. Namun, perihal ‘anu’ yang banyak itu ternyata masih aman untuk konsumsi anak anak. Tidak ada adegan adegan sadis semacam pemenggalan kepala, atau bacok perut orang sampai ususnya keluar kemudian dibikin ayunan. Tidak ada.

Buku ini sangat aman untuk dibaca bersama putra dan putri anda, apalagi dengan adanya ilustrasi ilustrasi berwarna yang menggambarkan adegan adegan dalam buku itu, tentu semakin membuat putra dan putri anda semakin tertarik. Atau bagi anda yang belum punya buntut, jangan khawatir, buku ini juga cocok untuk dibaca berdua dengan kekasih anda, teman karib anda, atau binatang peliharaan anda.

Anda: pus, aku mau bacain buku cerita nih ke kamu. Coba tebak judulnya apa, dimulai dengan huruf W?

Kucing : meongg, Whiskas bukan?

Tapi, jika anda kebetulan sedang dalam kondisi galau akut, jangan khawatir buku ini pun bisa mengobati kegalauan anda. Anda galau, berarti anda tidak bahagia. Dan, di buku ini ada resep jitu supaya anda jadi bahagia, selama lamanya hahahaha.
Sebuah resep kebahagiaan milik sebuah keluarga yang selalu bahagia. Dan, ternyata resep kebahagiaan itu sangatlah sederhana, yang barangkali sering anda dengar di acara tausiah keagamaan. Jadi, maukah duhai anda yang sedang galau, yang sedang mencari kebahagiaan, saya beritahu apa sebenarnya resep kebahagiaan itu?

Resepnya ialah…

Mau tauuuuuu ajahhhh :D/

Ah, maafkan saya jika ternyata jawabannya membuat anda terkejut, shock, dan ingin melempar laptop anda. Bukan maksud hati untuk menutupi, tapi tentunya akan lebih baik jika anda membacanya sendiri bukan? Lebih afdol, begitu kata orang orang.
Selain dari pada itu, hal menarik lainnya daripada buku ini ialah kemasannya yang sedikit lain dari pada yang lain. Dengan design cover yang unyu sekaligus misterius di saat yang bersamaan. Sebuah lukisan anak kecil yang sedang memeluk naga, dengan background langit berwarna biru, tanpa tulisan apa pun, kecuali judul dan nama pengarang, bahkan untuk sekedar sinopsis sekalipun. Misterius.

Pada akhirnya buku ini barangkali tidak menyajikan kisah kisah dramatis yang mendebarkan hati, buku ini hanyalah sebuah kisah ‘sederhana’ seorang anak manusia dalam rangka mewujudkan cita citanya. Sebuah bacaan ringan pengisi waktu luang.

 

Read Full Post »