Extremely Loud and Incredibly Close
Penulis: Jonathan Safran Foer
Tiba tiba saja, saya ingin menjadi orang ganteng pertama yang pergi memanjat pohon toge, dan melemparkan buku ini ke tanah, kemudian saya diamkan selama sebulan penuh hingga tumbuh jamur, lalu saya makan, meskipun saya menyadari hal itu masih tak cukup buat menghilangkan kekecewaan yang saya alami.
Tapi, tentu saja hal itu hanya sebatas keinginan, tanpa pernah menjadi kenyataan. Sebab nyatanya saya jauh dari pohon toge, tidak akan melemparkan buku ke tanah, tidak makan jamur buku, tapi, saya masih tetap kecewa, plus tetap ganteng sebagaimana biasa.
Kemudian saya pun mulai menyalahkan orang orang dari Arena, Daily Telegraph, dan Observer, sebab di masa lalu telah dengan percaya diri menuliskan kata kata pujian pada lembar sampul;’Memikat’,Mengharu Biru’,’Spektakuler’. Menyalahkan Stephen Daldry, yang telah menggandeng Tom Hanks dan Sandra Bullock untuk membuat versi layar lebar daripada buku ini. Kedua hal itulah yang sekiranya menjadi biang keladi atas membubung tingginya harapan akan betapa menariknya buku ini. Dan seperti yang telah saya singgung sebelumnya, buku ini tidak sesuai dengan harapan. Saya kuciwa.
Ialah Oskar Schell, yang pada umurnya yang masih belia telah ditinggalkan oleh ayahnya yang ikut menjadi korban dalam peristiwa 11 September. Anak laki laki ini, yang begitu merasa kehilangan sosok ayahnya, kemudian sedikit merasa terhibur manakala pada suatu hari ia menemukan sebuah kunci, yang ia yakini sebagai milik ayahnya. Waktu itu ia sendirian di dalam kamar ayahnya, merasa kesal oleh tingkah laku ibunya di ruang tamu yang sedang tertawa bersama teman laki laki, saat itulah ia melihat sebuah vas bunga di atas lemari.
Ia mengambil kursi dan beberapa tumpuk buku sebagai pijakan, sebab lemari itu terlalu tinggi. Namun, tak sengaja ia menjatuhkan vas
bunga itu, dan pecah. Sewaktu sedang membersihkan pecahan vas bunga, ia menemukan amplop yang berisi kunci. Ia tak tahu, lubang kunci manakah yang cocok dengan kunci itu. Satu satunya petunjuk hanyalah sebuah tulisan pada amplop; ‘Black’.
Ia pun kemudian berusaha untuk mencari tahu siapa ‘Black’ itu sebenarnya, dengan cara menemui semua orang yang mempunyai nama ‘Black’;Aron Black, Abby Black, William Black,serta Black yang lainnya, meski sayangnya ia tidak berusaha untuk mencari Kamen Rider Black, sebab kalau itu terjadi, tentunya akan membuat buku ini menjadi menarik.
Err..sangat susah buat saya untuk menikmati buku ini. Bukan karena ceritanya yang tidak menarik, meskipun memang ternyata tidak begitu menarik juga sih, melainkan cara penulisannya yang bikin bingung. Jonathan S Foer menulis buku ini dengan gaya yang sama sekali berbeda dengan penulis kebanyakan. Ketika biasanya penulis berusaha keras untuk memberikan sebuah tulisan yang memudahkan orang lain untuk membaca, maka Jonathan S Foer berlaku sebaliknya.
Ia menulis seenak udelnya sendiri yang mengakibatkan buku ini menjadi sulit untuk dibaca. Sebagai contoh, penulisan dialog. Lazimnya dialog ditulis satu dialog dalam satu baris, dan dialog berikutnya ditulis di bawahnya. Tapi Jonathan S Foern malah menulis hampir semua dialog berikutnya, di samping dialog sebelumnya. Tapi, puncak dari segala proses ‘seenak udelnya’ sendiri itu terjadi pada halaman 345 – 348; tulisannya sama sekali tidak bisa dibaca.
Barangkali seandainya buku ini ditulis menggunakan tulisan hanacaraka pada lembar daun lontar milik Brama Kumbara, atau tulisan hieroglyph pada dinding piramid, atau tulisan 4l4y pada dinding dinding Facebook, masih dimaklumi kalau sampai saya tidak bisa membacanya, tapi kalau jenis tulisan Times New Roman, diketik komputer dan tidak bisa dibaca, itu kan sesuatu banget namanya. Betul tidak mbak Sahrini?
Sahrininya ga ada mas.
Pergi kemana emang?
Jangan memilihh akkyuuuu…
Malah nanyi
Dan, ketidaknyamanan dalam hal penulisan itu pun berimbas pada menurunnya daya tangkap saya terhadap apa yang disebut sebagai jalan cerita. Cerita yang sebenarnya tidak begitu kompleks itu pun menjadi kelihatan berbelit belit kesana kemari, dan errr..pokoknya gitu deh ye, bikin pusing bacanya :
Tapi meski begitu, buku ini bukannya tanpa kelebihan, sebab nyatanya biarpun secuil, Jonathan S Foer mampu menghadirkan momen momen yang mampu menggetarkan hati, meski paragraf sebelumnya dan sesudahnya tetap bikin mabok. Ini membuktikan bahwa sebenarnya Jonathan S Foer penulis yang bukan sembarangan, penulis yang sesuatu banget lah. Betul tidak mbak Sahrini?
Sahrininya ga ada mas.
Jangan memilih akkyuuu…
*keduluan nyanyi
Kelebihan yang lain ialah adanya ilustrasi foto hitam putih yang menunjukkan apa saja yang disebutkan di dalam buku. Misalnya tokoh utama menyebutkan kunci,kura kura, sidik jari maka nanti akan ada foto kunci, kura kura, sidik jari, dan seterusnya. Bahkan lembar pertama buku ini diisi secara berurutan oleh sebuah foto lubang kunci, burung burung terbang, dan sisi samping sebuah apartemen.
Pada akhirnya buku ini bukan untuk semua orang, termasuk saya. Butuh perjuangan yang besar untuk menyelesaikannya. Ini adalah buku paling unik, tapi juga sekaligus paling menyebalkan yang pernah saya baca. Tidak cocok untuk dibaca sambil santai ongkang ongkang kaki di bawah pohon ditemani secangkir teh di sore hari, tidak cocok dibaca bersama keluarga anda, atau kekasih anda, atau teman tapi mesra anda, atau binatang peliharaan anda, atau temannya tentenya bapaknya ibunya adiknya sepupunya tetangganya adiknya neneknya teman anda. Pokoke kudu dibaca dalam kondisi siap tempur deh, dan jangan lupa… helmnya dicopot, biar keliatan .
Sudah yee..:D/
Read Full Post »